Gb.Google |
Tulisan itu merujuk pada kisah yang
disampaikan Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya. Yaitu saat Pram bertemu
dengan penulis favoritnya bernama Idrus. Dari Idrus dia mendapat kata-kata: Oh
kamu yang namanya Pramoedya? Kau bukan menulis, kau berak. Selanjutnya Pram
tentu sakit hati tapi tetap mengidolakan Redaktur Balai Pustaka itu.
Di masa Pram tentu media merupakan
industri yang berjalan jongkok. Sebab, rezim Sukarno tak terlalu membebaskan
pers. Saya suka Sukarno. Perlakuan Sukarno pada pers jika hendak dipahami
secara positif adalah sebuah upaya untuk menjaga Indonesia. Sukarno pernah
berkata pada Presiden Amerika John F Kennedy: Di negaraku pers tidak bebas.
Pers tidak boleh mengadu manusia dengan manusia, terlebih mengadu negara dengan
negara.
John F Kennedy diperingatkan Sukarno
karena pers Amerika merendahkan pemerintah Indonesia dengan mengatakan Sukarno
tidak becus mengurus negara. Sukarno ditulis lebih banyak hura-hura, sibuk
bersolek, dan berpoligami.
Di era Sukarno pers masih bisa
bergerak meski berjalannya jongkok. Memasuki Orde Baru, pers berubah drastis.
Media massa cetak dan elektronik (saat itu belum ada media on line dan citizen
journalis) bukan lagi jongkok, tapi tiarap. Industri media tidak laku. Soeharto
melalui Departemen Penerangan menyeragamkan semua berita. Jika ada berita
miring atau provokatif sedikit saja, bredel.
Selama 32 tahun pers Indonesia
jongkok, tidak laku, seragam, tidak menarik pembaca, bisnisnya tidak jalan,
iklan tidak bisa menghidupi, oplah hidup enggan mati tak mau. Di rezim itu
orang-orang yang pandai menulis harus kreatif menahan diri untuk tidak menulis
yang tidak disukai rezim. Lalu reformasi. Soeharto lengser. Indonesia diterjang
era keterbukaan. Pers, media massa, dan wartawan berlahiran.
Meminjam analogi KH. Musthofa Bisri
(Gus Mus) yang mengibaratkan media sebagai pesawat. Misalnya pesawat, sebelum
reformasi Indonesia hanya punya 100 pesawat. Setelah reformasi tiba-tiba
Indonesia punya 2.000 pesawat. Kekurangan pilot pesawat harus dipenuhi. Siapa
akhirnya yang dijadikan pilot??? Tukang ojek. Tukang ojek jadi pilot pesawat
sama dengan kondisi pers dan media dewasa ini. Jurnalis dan wartawan tiban
bermunculan tanpa pendidikan jurnalistik yang mumpuni dan pemahaman tentang
kode etik jurnalistik. Bukan hanya di media massa komersil, tapi juga di
media-media sosial yang berbasis citizen journalistik.
Entah tinggal apa dan berapa media
yang masih berpegang teguh pada pendidikan jurnalisme dan kode etik untuk
kemudian menerbitkan produk jurnalistik. Entah berapa banyak citizen
jurnalistik yang paham pendidikan jurnalisme dan kode etiknya. “Ya kita seperti
setiap hari disuguhi berak,” demikian Idrus atau Pram mungkin akan berkata-kata
jika nafas keduanya masih menyala saat ini.
Sekarang pesawat-pesawat sudah
telanjur dipiloti tukang ojek. Penumpang yang sudah telanjur ikut pesawat harus
segera terjun, karena masih ada kemungkinan selamat. Yang belum naik pesawat,
lebih baik urungkan niat numpak pesawat.
Jika tetap mau naik pesawat,
pelajari dulu jurnalisme dan kode etik supaya bisa memilih pesawat dengan pilot
yang mumpuni, bisa dipercayai. Agar tidak sesat seperti pengikut ustad atau
kiai tiban yang pendidikan ceramah dan alamat pondok pesantrennya tidak jelas.
(Nara) *Jurnalis yang kini petani