Aku-Media dan Berak

Gb.Google
Pada hari Pers 2011 saya pernah menulis artikel berjudul “Kau Bukan Menulis, Kau Berak”. Tulisan itu dimuat di koran terkemuka di Madura tanpa ada perubahan judul. Kata “berak” tetap dimuat “berak” di koran itu tanpa risih.

Tulisan itu merujuk pada kisah yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya. Yaitu saat Pram bertemu dengan penulis favoritnya bernama Idrus. Dari Idrus dia mendapat kata-kata: Oh kamu yang namanya Pramoedya? Kau bukan menulis, kau berak. Selanjutnya Pram tentu sakit hati tapi tetap mengidolakan Redaktur Balai Pustaka itu.

Di masa Pram tentu media merupakan industri yang berjalan jongkok. Sebab, rezim Sukarno tak terlalu membebaskan pers. Saya suka Sukarno. Perlakuan Sukarno pada pers jika hendak dipahami secara positif adalah sebuah upaya untuk menjaga Indonesia. Sukarno pernah berkata pada Presiden Amerika John F Kennedy: Di negaraku pers tidak bebas. Pers tidak boleh mengadu manusia dengan manusia, terlebih mengadu negara dengan negara.

John F Kennedy diperingatkan Sukarno karena pers Amerika merendahkan pemerintah Indonesia dengan mengatakan Sukarno tidak becus mengurus negara. Sukarno ditulis lebih banyak hura-hura, sibuk bersolek, dan berpoligami.

Di era Sukarno pers masih bisa bergerak meski berjalannya jongkok. Memasuki Orde Baru, pers berubah drastis. Media massa cetak dan elektronik (saat itu belum ada media on line dan citizen journalis) bukan lagi jongkok, tapi tiarap. Industri media tidak laku. Soeharto melalui Departemen Penerangan menyeragamkan semua berita. Jika ada berita miring atau provokatif sedikit saja, bredel.

Selama 32 tahun pers Indonesia jongkok, tidak laku, seragam, tidak menarik pembaca, bisnisnya tidak jalan, iklan tidak bisa menghidupi, oplah hidup enggan mati tak mau. Di rezim itu orang-orang yang pandai menulis harus kreatif menahan diri untuk tidak menulis yang tidak disukai rezim. Lalu reformasi. Soeharto lengser. Indonesia diterjang era keterbukaan. Pers, media massa, dan wartawan berlahiran.

Meminjam analogi KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) yang mengibaratkan media sebagai pesawat. Misalnya pesawat, sebelum reformasi Indonesia hanya punya 100 pesawat. Setelah reformasi tiba-tiba Indonesia punya 2.000 pesawat. Kekurangan pilot pesawat harus dipenuhi. Siapa akhirnya yang dijadikan pilot??? Tukang ojek. Tukang ojek jadi pilot pesawat sama dengan kondisi pers dan media dewasa ini. Jurnalis dan wartawan tiban bermunculan tanpa pendidikan jurnalistik yang mumpuni dan pemahaman tentang kode etik jurnalistik. Bukan hanya di media massa komersil, tapi juga di media-media sosial yang berbasis citizen journalistik.

Entah tinggal apa dan berapa media yang masih berpegang teguh pada pendidikan jurnalisme dan kode etik untuk kemudian menerbitkan produk jurnalistik. Entah berapa banyak citizen jurnalistik yang paham pendidikan jurnalisme dan kode etiknya. “Ya kita seperti setiap hari disuguhi berak,” demikian Idrus atau Pram mungkin akan berkata-kata jika nafas keduanya masih menyala saat ini.
Sekarang pesawat-pesawat sudah telanjur dipiloti tukang ojek. Penumpang yang sudah telanjur ikut pesawat harus segera terjun, karena masih ada kemungkinan selamat. Yang belum naik pesawat, lebih baik urungkan niat numpak pesawat.
Jika tetap mau naik pesawat, pelajari dulu jurnalisme dan kode etik supaya bisa memilih pesawat dengan pilot yang mumpuni, bisa dipercayai. Agar tidak sesat seperti pengikut ustad atau kiai tiban yang pendidikan ceramah dan alamat pondok pesantrennya tidak jelas.

(Nara) *Jurnalis yang kini petani

Share on Google Plus